Oleh Muhammad Syarafuddin

DUA pekan terakhir, saya berkesempatan salat Jumat di dua kota berbeda, Banjarmasin dan Balikpapan.

Masjid di sini telah melepas stiker silang merah di lantainya. Digantikan oleh gulungan sajadah berwarna hijau. Masih gres, seperti baru datang dari toko.

Dan seruan imam sebelum takbir diangkat, "Sawwu shufu fakum!" pun kembali terdengar.

Saya terkejut, tapi bisa memahami.

Selama 18 bulan, umat telah bersabar. Melalui masa sulit karena PSBB dan PPKM. Menerima pembatasan, bersedia salat berjemaah dengan menjaga jarak.

Sementara di kota tetangga, selotipnya masih menempel. Selama khatib berada di atas mimbar, kami menjaga jarak. Satu meter kurang sedikit.

Tapi begitu iqamah berkumandang, jemaah langsung merapatkan barisan. Semua saf terisi penuh.

Kali ini, saya tak lagi terkejut. Dengan kesadaran penuh maju untuk mengisi celah yang kosong di depan.

Apakah protokol kesehatan di rumah ibadah telah dilanggar? Seorang makmum seperti saya tak berhak menghakimi.

Sebenarnya, saya terlambat menyadari. Bahwa pelepasan tanda menjaga jarak di masjid bukan sebuah kebetulan. Ini terjadi serempak.

Seorang kawan memperlihatkan video yang sedang viral. Merekam pelepasan stiker menjaga jarak di lantai Masjidili Haram, Makkah.

Serupa dengan Masjid Nabawi di Madinah. Artinya, masjid di tanah suci sudah dibuka untuk kapasitas penuh.

Menurutnya, video itulah yang meyakinkan para pengurus masjid untuk mengembalikan safnya seperti semula.

Pemerintah Saudi juga mengumumkan, bagi yang sudah divaksin boleh melepas masker di area terbuka (ruang tertutup masih wajib).

Kebijakan itu dibarengi dengan pembukaan pintu perbatasan untuk jemaah umrah. Sekalipun kuotanya masih dibatasi.

Sungguh kabar baik. New normal ternyata tak terlalu buruk.

Kembali pada soal merenggangkan saf ini, secara fiqih, memang menjadi perdebatan. Cek saja forum di internet.

Ada yang menegaskan, meluruskan dan merapatkan saf adalah perkara wajib. Ada pula yang menyatakan cuma sunah. Kalau ditinggalkan hanya mengurangi kesempurnaan salat berjemaah, tak sampai membatalkan.

Keduanya benar, sama-sama memiliki dalil. Tergantung mengutip pendapat ulama yang mana.

Namun, kedua kubu itu sama-sama bersepakat bahwa kerapian saf adalah perkara penting.

Dalam banyak hadis diriwayatkan, nabi berpesan, bahwa umat ini diistimewakan berkat safnya yang rapi. Seperti barisan para malaikat.

Nabi juga mengingatkan, saf salat yang bolong-bolong adalah awal dari perpecahan umat.

Saya berharap, lewat saf yang rapat, lurus dan rapi ini, kita bisa lebih bersatu dalam menghadapi pandemi.

Tak ada lagi perdebatan tentang harus memakai masker atau tidak. Tentang mesti menerima atau menolak vaksin.

Sebab, suka atau tidak, ancaman covid masih ada. Kita tak tahu kapan gerangan gelombang wabah berikutnya tiba. Apalagi herd immunity belum terbentuk.

Jangan sampai keadaan kembali memburuk. Jangan sampai stiker yang sudah dilepas, terpaksa kembali ditempelkan. (*)