Alam tak bisa bercanda. Kalau bisa, berarti selera humornya memang jelek sekali.
- Oleh: Muhammad Syarafuddin, Radar Banjarmasin
Musim hujan belum mencapai puncak. Tapi, Jalan Trans Kalimantan di Pulang Pisau, penghubung Kalsel dan Kalteng sudah terputus. Terendam air setinggi 1,4 meter.
Lebih dekat, daerah Hulu Sungai sudah dikepung banjir. Dilaporkan, siring di Kandangan jebol karena tak kuat menahan derasnya arus sungai.
Sementara di Barabai, sebanyak 23 keluarga mengungsi ke gedung sekolah. Sedangkan di Paringin, meski sudah surut, tercatat 704 jiwa terdampak banjir.
Paling dekat, di Banjarmasin, permukiman dan jalan yang rendah atau berdekatan dengan muara sungai sudah dilanda rob. Setinggi mata kaki hingga selutut. Orang Banjar menyebutnya "calap".
Terpantau belasan kawasan tergenang. Sebut saja Jalan Jafri Zamzam, Jalan Kuin, Jalan Kelayan B dan kawasan Kubah Habib Basirih.
Sebenarnya, air pasang sungai adalah fenomena biasa. Naik tengah malam dan surut menjelang subuh. Tapi tahun ini, warga mengakui calapnya lebih tinggi.
Beranjak ke tema yang lebih besar, yakni banjir Banua, sudah terdengar seperti debat kusir.
Pemerintah dan pengusaha menyalahkan curah hujan ekstrem. Sebaliknya, aktivis lingkungan menuding pertambangan batu bara, perkebunan sawit dan pembalakan hutan. Akademisi ikut menimpali, mengingatkan ancaman perubahan iklim.
Siapa yang benar? Kemungkinan besar semuanya benar.
Saya sendiri sedang keranjingan membaca buku bertema bencana iklim. Ya, ancamannya nyata. Terkadang membuat hampir putus asa.
Bukan berarti bisa dijadikan pembenaran. Upaya-upaya pemko seperti mengeruk sungai dangkal dan membangun jaringan drainase tetap penting.
Perihal alam yang sedang marah, bisa dimaklumi. Tengok skala kerusakannya.
Mengutip kepala berita Radar Banjarmasin edisi Rabu (17/11), Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah V Banjarbaru mengungkap, selama tiga tahun terakhir luasan hutan Kalsel berkurang 30.015 hektare.
Setara dengan tiga kali luas Kota Banjarmasin! Karena ibu kota provinsi ini cuma seluas 9.846 hektare.
Hutan dibabat demi memperluas permukiman, pertambangan dan perkebunan. Tanpa hutan, sulit untuk mengadang banjir. Tanah juga tererosi, rawan longsor. Dan sedimen meluncur mulus, mendangkalkan sungai.
Mengingat masalahnya adalah deforestasi, maka solusinya adalah reforestasi alias penghutanan kembali.
Pembaca tentu sering melihat. Di pertigaan atau perempatan lampu merah, dalam banyak spanduk, kepala daerah dan kepala dinas mengajak masyarakat bergerak bersama Revolusi Hijau.
Kita memang menyukai slogan, apalagi yang terdengar gagah seperti revolusi.
Masalahnya, BPKH mencatat, reforestasi pada 2019-20 baru seluas 100 hektare. Tak sebanding dengan 7.547 hektare hutan yang hilang pada kurun waktu yang sama.
Baru soal kuantitas, belum kualitas. Sudah diketahui khalayak, penanaman pohon lebih diarahkan untuk mendukung kawasan pariwisata. Bukan untuk memulihkan lahan gundul yang rusak.
Jutaan bibit sengon dan mahoni itu ditanam dalam acara-acara resmi. Revolusi ternyata membutuhkan seremoni. (*)