Di dalam bilik ATM, saya berseru mengucap tahmid, alhamdulillah! Saldo bertambah Rp1 juta.
- Oleh: Muhammad Syarafuddin
Oleh Kementerian Tenaga Kerja, saya rupanya dianggap layak dibantu subsidi gaji. Saya tak keberatan, sering-sering saja.
Tapi, dasar wartawan tak tahu berterima kasih, bawaannya malah curiga.
Soalnya, timing transfernya pas sekali. Setelah menerima subsidi ini, amarah saya memang agak mereda.
Marah karena upah minimum provinsi (UMP) Kalsel untuk tahun 2022 hanya naik 1,01 persen atau Rp29 ribu.
Disusul kenaikan upah minimum kota (UMK) Banjarmasin yang hanya 1,7 persen atau Rp51 ribu.
Jauh dari yang diharapkan, berupa kenaikan lima sampai delapan persen.
Dengan Rp29 ribu, Anda hanya bisa membeli pertalite sebanyak empat liter kurang sedikit. Kalau membeli nasi padang, cuma dapat satu setengah porsi.
Rasa-rasanya, belum pernah kelas pekerja mendapat penghinaan seperti ini.
Reaksi keras pun tak terhindarkan. Kamis (25/11), ribuan buruh menyesaki Jalan Lambung Mangkurat, kawasan gedung DPRD.
Pendemo mendesak Gubernur Kalsel, Sahbirin Noor untuk mencabut surat keputusan (SK) penetapan UMP. Sayang, beliau ternyata sedang berada di Jakarta.
Lanjutannya, Selasa (30/11), tiga serikat buruh mengancam bakal menggelar aksi mogok kerja selama tiga hari, 6-8 Desember. Pemogokan bisa dihindari bila gubernur mau berunding dengan perwakilan buruh.
Kalsel jelas bukan kasus istimewa. Kenaikan upah minimum sebesar satu persen itu terjadi merata. Antar provinsi hanya berbeda sekian nol koma. Unjuk rasa pun pecah di mana-mana.
Kesamaan itu bukan karena kebetulan. Perhitungan UMP memakai rumus yang sama, mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Contoh, di ibu kota Jakarta yang biaya hidupnya terkenal tinggi, UMP hanya naik 0,85 persen atau Rp38 ribu.
Patut disesalkan, UMP kerap dicap isu eksklusif milik kaum buruh. Yang berwiraswasta terkadang tak peduli.
Padahal UMP akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Seiring inflasi, yang terjadi adalah pengiritan, bukan berbelanja. Akan ada lebih banyak kasbon. Ini hukum ekonomi sederhana.
Lantas, apakah unjuk rasa bisa membawa hasil? Jawabannya terdengar muram. Di republik ini, unjuk rasa adalah perkara menyampaikan aspirasi dan menampung aspirasi.
Besar kemungkinan penetapan UMP takkan dianulir. Perlahan kita dipaksa untuk mensyukuri Rp29 ribu tersebut.
Maka saya terkesan dengan Gubernur DKI Anies Baswedan. Di depan massa aksi, ia mengakui bahwa nominal kenaikan UMP tidak manusiawi dan tidak adil.
Anies juga menyebut pandemi bukan dalih sakti. Selama musim covid, banyak perusahaan yang dibuat menderita, tapi banyak pula yang meraup untung.
Cucu AR Baswedan itu kemudian bersurat kepada pemerintah pusat, meminta rumus hitung-hitungan UMP dalam PP 36 dikoreksi.
Pencitraan atau bukan, biar masyarakat yang menilai. Saya tetap berharap, sikap Anies bisa ditiru kepala daerah di tempat kita.
Betul, pemerintah daerah harus manut sama pusat. Tapi gubernur, bupati dan wali kota bukan produk seleksi CPNS. Mereka hasil pemilu langsung. (*)