DI LUAR kalangan insinyur, kontraktor dan pegawai dinas PU, siapa yang peduli dengan aspal? Jawabannya seorang pengagum aspal dadakan.

- Oleh: Muhammad Syarafuddin

Bagi saya, aspal adalah material yang ajaib. Berkat aspal, status terpencil dari sebuah desa bisa ditanggalkan.

Jalan yang mulus juga menolong perekonomian. Truk dari pelabuhan dan pabrik dapat mencapai pasar lebih cepat. Menekan ongkos pengiriman. Menjaga harga barang tetap murah.

Aspal pula yang membuat Presiden Joko Widodo bisa balapan dengan tersenyum di Sirkuit Mandalika.
Mari mundur ke belakang, berabad-abad sebelum Jokowi lahir.

Sebelum berjaya di darat, aspal pernah dipuja di lautan. Oleh pelaut kuno, aspal digunakan untuk melapis lambung kapal supaya kedap air.

Bangsa Yunani menamainya asphaltos. Bangsa Akkadia menyebutnya iddu. Bangsa Arab mengenalnya qar.

Dalam catatan tertanggal 1595, penjelajah Inggris bernama Sir Walter Raleigh menulis, telah ditemukan simpanan aspal di Trinidad, dekat pantai Venezuela.

Deposit lainnya berada di Buton. Di tenggara Sulawesi itu, aspal mulai ditambang sejak tahun 1926.

Cadangannya ditaksir mencapai 694 juta ton. Buton sanggup memenuhi kebutuhan infrastuktur Indonesia selama 330 tahun.

Sejauh ini diketahui, hanya di kedua lokasi tersebut aspal alam bisa ditambang. Selebihnya aspal buatan, produk kimia rumit yang diolah dari minyak bumi.

Intinya, jasa aspal untuk transportasi modern sungguh tak terperi.

Meski saban hari harus terinjak sepatu, dilindas ban, terciprat ludah, teroles tahi kucing, dimandikan hujan dan dijemur matahari.

Maka patut disesalkan, ketika Banjarmasin diancam banjir, secara tak langsung aspal didakwa.

Gara-gara pengaspalan ulang jalan raya dan lingkungan. Permukaan jalan ditinggikan hingga belasan sentimeter agar tak terendam. Rupanya, inilah solusi pemerintah dalam menghadapi banjir.

Sementara halaman rumah, toko, warung dan kantor di tepi jalan yang lebih rendah ketiban limpasan airnya.

Pemilik bangunan bisa saja menguruk untuk meninggikan halamannya. Persoalannya, lomba tinggi-tinggian ini sulit untuk dimenangkan.

Warga pun ngomel. Menuntut pemerintah serius dalam membangun dan membenahi jaringan drainase dan kanal. Bukan malah sibuk meninggi-ninggikan jalan.

Yang curiga bahkan menuding peninggian jalan sebagai proyekan semata. Seusai jalan ditinggikan, ada lagi proyek tambahan berupa peninggian median dan trotoar.

Saya yang awam ini mungkin keliru. Berandai-andai hendak meniru negara maju. Di luar negeri, jalan rusak lebih dulu dikupas. Baru kemudian dilapis aspal baru.

Jalan menjadi mulus tanpa harus ditinggikan. Tanpa harus mengorbankan para pembayar pajak di samping kanan dan kiri jalan.

Entah bagaimana teknisnya, saya tak paham. Tapi saya kira itulah gunanya memiliki fakultas teknik beserta pasukan sarjananya. Itu pula gunanya studi banding pejabat ke mancanegara.

Karena kalau cuma meninggikan jalan, nanti malah dicap aspal. Solusi asli tetapi palsu. (*)