TERKADANG, saya merasa seperti berkantor dekat pelabuhan. Di kawasan Kayu Tangi, kini truk lalu lalang dengan bebas.

-- Oleh: Muhammad Syarafuddin, Editor Halaman Metropolis

Berbagai jenis dari engkel, fuso, tronton, kontainer, hingga trailer. Dari yang roda enam hingga 20 lebih.

Nyali kian ciut ketika melihat sederet truk parkir di tepi jalan. Mengantre pembagian solar di SPBU. Menambah sempit dan rawan Jalan Hasan Basri.

Bagi pengguna sepeda motor seperti saya, ketimbang jadi ayam geprek, lebih baik mengalah.

Pembaca tentu ingat. November lalu, seorang gadis tewas terlindas truk di Jalan R Suprapto, persis di depan rumah dinas Gubernur Kalsel.

Maka bagus sekali ketika Satlantas Polresta dan Dinas Perhubungan Banjarmasin bertindak. Berjaga di batas kota. Mencegat dan menyuruh putar balik truk-truk tersebut.

Total, sudah 142 surat tilang yang diterbitkan untuk menjerakan para sopir ngeyel itu.

Ngeyel karena lalu lalang di jalan-jalan dalam kota pada jam terlarang. Padahal rambu-rambunya sudah jelas terpasang.

Bahwa angkutan jumbo dilarang melintas pada pukul 06.00 sampai 09.00 Wita. Berlanjut pada pukul 15.00 sampai 18.00 Wita.

Acuannya adalah surat keputusan (SK) Wali Kota Banjarmasin tahun 2009. Jika sudah diatur sejak 12 tahun silam, lalu mengapa masalah ini masih terjadi?

Ihwalnya, Jalan Gubernur Syarkawi rusak berat setelah dihajar banjir. Sekarang masih dalam perbaikan.

Enggan berjibaku di jalan rusak, sebagian sopir truk kemudian nekat menempuh rute dalam kota. Menuju Jembatan Sungai Alalak yang masih gres dan mulus.

Mundur ke belakang, tahun 2012, pemko dan DPRD pernah bersepakat untuk merevisi SK wali kota tersebut.

Larangannya dipertegas, truk hanya boleh melintas di dalam kota di atas jam 10 malam sampai jam 6 pagi.

Niatnya mulia. Sudah banyak warga yang menjadi korban karena tersenggol truk. Banyak pula ruas jalan yang berlubang karena dilindas truk.

Begitu aturan itu disahkan, para sopir melancarkan aksi pemogokan di Pelabuhan Trisakti. Perekonomian hampir lumpuh dan pemko mengendor.

Namun, aturan itu sebenarnya tak pernah dicabut. Hanya ditunda. Pemerintah diberikan waktu untuk berbenah.
Pergudangan dipindahkan ke luar kota, ke Jalan Gubernur Subarjo. Jalan-jalan lingkar ditata ulang untuk melancarkan arus angkutan barang lintas provinsi.

Setelah infrastrukturnya siap, baru larangan itu diterapkan. Saya masih mengingatnya karena kebetulan berada di sana untuk meliputnya.

Malangnya, wali kota dan gubernur berganti, fokus pembangunan juga turut bergeser.

Satu dekade kemudian, masalah lama berulang. Bedanya, kali ini cukup dihadapi dengan surat tilang. Bukan kebijakan.

Bagi Banjarmasin yang pendapatannya bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa, cerita ini memang ironis.
Apalagi bagi kota yang pernah mendaku sebagai pintu gerbang ekonomi Kalimantan... Slogan yang terdengar gagah. (*)