BANJARMASIN - Proyek Jalan Liang Anggang-Bati-Bati yang pengerjaannya membuat pengendara dan penduduk setempat menderita, disorot Gabungan Pelaksana Nasional Konstruksi Seluruh Indonesia (Gapensi) Kalsel.
Mereka meminta Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah XI Banjarmasin agar mem-black list kontraktor luar yang bekerja tak becus dan asal-asalan di Kalsel. “Kami pengusaha daerah mengawasi pekerjaan tersebut secara penuh,” tegas Ketua Gapensi Kalsel, Edy Suryadi kemarin.
Dia juga menuntut BPJN Wilayah XI Banjarmasin harus bertanggung jawab atas pekerjaan senilai Rp74 miliar yang dilaksanakan kontraktor asal Jawa Timur itu.
Menelan anggaran sebesar Rp74 miliar, penanganan ruas jalan ini terbagi dua paket pekerjaan. Paket pertama atau seksi I adalah, pekerjaan rehabilitasi Jalan Simpang Liang Anggang sampai Batas Kota Pelaihari dengan panjang mencapai 3,52 Km.
Sedangkan seksi II adalah pekerjaan rehabilitasi Jalan Simpang Liang Anggang sampai Batas Kota Pelaihari dan Batas Pelaihari sampai pertigaan Bati-Bati hingga Jalan Benua Raya, Bati-Bati. Panjang jalan yang ditangani mencapai 2,7 Km.
Dari data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dua pekerjaan ini dimenangkan oleh kontraktor luar Kalimantan: PT Anugerah Karya Agra Sentosa dan PT Nugroho Lestari.
Dia memastikan, jika BPJN Wilayah XI Banjarmasin tak mampu memberikan sanksi terhadap kontraktor itu, maka para pengusaha daerah akan turun ke jalan untuk demo.
“Kami ingatkan kepada BPJN Wilayah XI Banjarmasin agar tidak membuat keputusan apapun untuk menghindari target penyelesaian pekerjaan sesuai kontrak,” tegas Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Kawasan Perbatasan Kadin Indonesia ini.
Mantan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Kalsel, Subhan Syarief menduga, terjadinya keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang akhirnya merugikan masyarakat lantaran ketidaktepatan metode kerja.
Padahal sebutnya, salah satu dasar indikator penilaian ketika kontraktor ditunjuk sebagai pemenang, adalah adanya usulan metode kerja yang terbaik dibandingkan dengan rekanan yang lain.
“Jadi sangatlah tak mungkin bila dalam jalannya proses pelaksanaan ternyata rekanan yang ditunjuk tersebut tak melaksanakan metode kerja tersebut. Kondisi ini yang terjadi hingga membuat keterlambatan serta membuat penguna jalan kesulitan mengunakan jalan tersebut,” ujar Subhan kemarin.
Melihat kondisi jalan sekarang, seolah ada indikasi terjadi “pembiaran” dari pihak konsultan pengawas dan juga pihak proyek dan owner bahkan pejabat pembuat komitmen (PPK) yang sebenarnya bertanggung jawab dalam mengawasi kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dilaksanakan oleh kontraktor.
Mantan Ketua DPP Intakindo dan Inkindo Kalsel itu menambahkan, keterlambatan pekerjaan ini juga diindikasi akibat terjadi kesalahan dari segi penerapan target kualitas dan kuantitas dalam penyelesaian setiap tahapan pekerjaan yang tak bisa tercapai dengan baik. “Bila ini yang terjadi, ujungnya bisa masuk dalam kategori kegagalan konstruksi,” sebutnya.
Menurutnya, kondisi tersebut mestinya tak perlu terjadi, dan jika terjadi pun semestinya sejak awal sudah bisa diketahui. Sehingga mudah dicari solusi pencegahannya. “Analisis teknis rutin minimal setiap minggu sebenarnya wajib dilakukan oleh para pihak ketika mengawasi jalannya pekerjaan,” imbuhnya.
Dipaparkannya, dalam melaksanakan kegiatan jasa konstruksi, baik itu membangun infrastruktur jalan, jembatan atau pun gedung, umumnya melalui tiga siklus. Pertama, siklus pra pelaksanaan. Di siklus ini dilakukan tahap studi kelayakan atau perencanaan. Di tahapan ini adalah penentuan pihak penyedia jasa yang ditunjuk sebagai kontraktor dan konsultan pengawas oleh pihak Pokja atau panitia lelang dan pimpinan proyek.
“Pada Siklus ini peran perencana dalam membuat perencanaan dan pihak Pokja dan pihak proyek, menentukan pihak kontraktor yang ditunjuk sangatlah memberikan pengaruh pada hasil kualitas pekerjaan nanti,” paparnya.
Di siklus kedua, yakni siklus pelaksanaan pembangunan. Pada tahap ini, dilaksanakan oleh pihak penyedia jasa (Kontraktor dan Konsultan Pengawas). Di siklus ini lah proses quality kontrol menjadi penentu keberhasilan sebuah produk konstruksi. Faktor waktu, mutu dan biaya menjadi faktor utama yang akan dikendalikan oleh pihak yang terlibat.
Bila terjadi ketidaktepatan, maka sebutnya akan menjadi tanggungjawab bersama. “Tanggung jawab kontraktor pelaksana, Konsultan Pengawas dan juga pihak Pengelola Proyek, Pejabat pembuat komitmen dan pemilik proyek,” sebut Subhan.
Siklus terakhir, yakni siklus operasional. Di tahap ini produk konstruksi sudah diserahkan kepada pengelola dan masyarakat sehingga telah bisa digunakan. Namun, pada tahap ini pihak pelaksana tetap bertanggung jawab selama 10 tahun sejak pekerjaan di serahterimakan.
Diingatkannya, Jika ternyata terbukti sampai akhir kontrak kondisi tak selesai dan kemudian kualitasnya serta kuantitas produk tak sesuai yang disepakati dalam kontrak kerjanya, maka patut dipertanyakan hal tanggungjawab para pihak yang terlibat tersebut.
Subhan mempertanyakan, mengapa para pihak yang terlibat pada proyek seolah membiarkan terjadinya keterlambatan dan juga tidak memberikan solusi terhadap kemudahan warga penguna jalan untuk melalui jalan tersebut. Seharusnya dibuatkan jalur alternatif sementara yang nyaman dan aman.
Dia juga mempertanyakan kenapa pada pelaksanannya seakan tak menerapkan metode kerja terbaik yang ditawarkan sebelum kontraktor memenangkan proyek ini. Subhan menduga, bisa saja ada kemungkinan dalam dokumen lelangnya tak mengusulkan metode kerja terbaik dan sesuai dengan kondisi di lapangan.
“Di sisi lain berdasarkan statement pak Martinus, Mantan Kadis PUPR Kalsel terungkap bahwa berdasarkan pengalaman beliau ternyata track record dari penyedia jasa ini yang pernah dikerjakannya tidaklah menjanjikan. Ini yang menjadi pertanyaan,” tekannya.
Dia juga mempertanyakan pihak konsultan pengawas dan pihak owner atau proyek atau PPK, untuk memberikan teguran keras bahkan langkah pemutusan hubungan kerja dengan kemudian menarik jaminan penawarannya akibat kelalaian yang dilakukan oleh kontraktor pelaksana tersebut.
Yang paling penting serta mendesak dipersoalkan adalah akibat belum bisa diselesaikan, maka kerugian akan diterima oleh masyarakat si pengguna jalan. Menurutnya, ini bisa saja akan menjadi kasus hukum bila pihak yang dirugikan termasuk masyarakat mengajukan keberatan. “Karena hal perlindungan kepentingan masyarakat juga telah diatur oleh UU No 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi,” tekannya.
Dia meminta, perlu dilakukan langkah audit konstruksi independen yang lengkap terhadap proses berjalannya proyek tersebut. “Audit bisa dilakukan mulai siklus pra pelaksanaan dan siklus pelaksanaannya. Dari hasil audit akan bisa ditentukan, pihak siapa yang bersalah dan wajib bertanggung jawab menganti kerugian yang terjadi pada masyarakat pengguna jalan,” cetusnya.
Dengan begitu sebutnya, hendaknya jangan langsung memutuskan untuk menjadikan kasus ini, pasal denda yang akan digunakan sebagai solusi. “Walaupun dalam kontrak mengatur hal tersebut. Tapi sebelum itu dilakukan, perlu langkah audit, agar diketahui apa yang menjadi muara penyebab hal tersebut terjadi,” kata Subhan.
Dia tak ingin, di balik kejadian ini ternyata semua yang terjadi adalah karena akibat tidak jalanya proses kendali mutu proyek yang mestinya menjadi kewajiban para pihak. “Atau dengan kata lain ada indikasi proyek tersebut berjalan dengan kemauan pihak pelaksana dan kemudian ternyata pihak yang lain turut serta melakukan pembiaran. Pembiaran yang dilakukan baik sengaja ataupun tidak secara sengaja,” tambahnya.
Menurutnya semua pihak terkait wajib bertanggung jawab. Karena telah jelas memuncukan kerugian bagi kepentingan masyarakat pengguna jalan akibat belum bisanya jalan tersebut digunakan dengan baik, lancar, aman dan nyaman.
“Kalau diaudit, bisa terlihat, dari pertama Pokja yang memutuskan memilih kontraktor, pihak pemberi kerja, seperti misal PPK. “Intinya tak hanya pihak kontraktor dan pihak pengawas yang mesti wajib diminta untuk bertanggung jawab atas kegagalan yang terjadi,” tandasnya. (mof/by/ran)