Sebelum mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (18/4), ada salat zuhur berjemaah dan doa bersama di Masjid Sultan Suriansyah.

Dilanjutkan berziarah ke makam Raja Banjar, masih di Kampung Kuin. “Kami mengharap keberkahan, kelancaran dan tercapainya keinginan,” kata Direktur Borneo Law Firm, Muhammad Pazri kepada Radar Banjarmasin. 

BLF menjadi kuasa hukum dari Forum Kota. Yang berisi perwakilan 52 kelurahan dan menolak pemindahan ibu kota Provinsi Kalsel ke Banjarbaru. Targetnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Kalimantan Selatan yang disahkan DPR. Di mana pasal 4 melucuti status ibu kota dari Banjarmasin.

“Sengaja memilih lokasi ini. Guna mengingatkan publik atas ikatan yang kuat antara Banjarmasin dengan sejarah Kesultanan Banjar. Menukil ungkapan bapak proklamator, Soekarno: jangan sekali-kali melupakan sejarah,” tambah Pazri. “Sayang, yang terjadi justru sebaliknya,” tukas advokat muda itu.

Pazri menganggap bulan Ramadan bisa menjadi momen yang bagus untuk memulai perjuangan pengembalian status ibu kota ini.

UU yang disahkan pada pertengahan Februari lalu itu dituding menyalahi tata cara penggodokan RUU. “Dasar kami untuk menguji materinya (judicial review) ke MK semakin kuat,” tutupnya. Tak hanya Forkot, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) juga juga ikut menolak pemindahan itu.

Alasannya, mengacu kajian Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda), kerugiannya ditaksir mencapai triliunan rupiah.

“Karena event-event skala nasional biasanya digelar di ibu kota, termasuk pembangunan infrastruktur,” kata Ketua Kadin Banjarmasin, Akbar Utomo Setiawan.

Pebisnis yang bergabung di Kadin, dari perhotelan, perumahan, pariwisata dan kuliner itulah yang bakal menderita. “Dampaknya tidak langsung terasa sekarang. Tapi dua hingga lima tahun ke depan,” lanjutnya.

Sementara itu, Kabag Hukum Setdako Banjarmasin, Lukman Fadlun yang ikut salat berjemaah dan berziarah di Kampung Kuin mengatakan, dukungan dari DPRD Banjarmasin atas judicial review itu sudah menggambarkan keinginan masyarakat.“Menggeser ibu kota provinsi, sama dengan menggeser sejarah. Artinya kualat,” kata Lukman. (gmp/az/fud)