Jaksa Penuntun Umum (JPU) dari Kejari Kota Banjarbaru terpaksa harus menempuh upaya hukum banding. Buntut dari putusan Majelis Hakim ihwal dugaan kasus korupsi pengadaan tablet pintar iPad di sekretariat DPRD Kota Banjarbaru.
Sidang pembacaan putusan oleh Majelis Hakim sendiri digelar pada Selasa (31/5). Sidang lanjutan ini digelar secara daring dan bertempat di Pengadilan Negeri Tipikor Banjarmasin.
Dalam pembacaan putusan oleh majelis hakim, diputuskan jika lama hukuman yang harus dijalani dua terdakwa berbeda dengan tuntutan dakwaan yang diajukan oleh JPU pada sidang sebelumnya. Dua terdakwa yakni Aida Yunani, mantan Sekwan DPRD Banjarbaru dan Direktur CV Kiaratama Persada, Akhmad Syaifullah diputuskan oleh hakim menjalani hukuman selama satu tahun kurungan penjara dan denda masing-masing sebesar 50 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan dan uang pengganti sebesar 6 juta rupiah.
Putusan ini diambil hakim dengan berdasarkan pasal 3 Jo Pasal 18 UU RU no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU RI no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Dengan putusan majelis hakim ini, pihak JPU Kejari Kota Banjarbaru akan mengajukan upaya banding. “Ya, bahwa berdasarkan itu maka JPU akan mengajukan upaya hukum banding,” Kepala Kejaksaan Negeri Banjarbaru Hadiyanto melalui Kepala Seksi Intelijen Nala Arjhunto. Dilanjutkan Nala, dalam persidangan tersebut juga didapati bahwa berdasarkan amar putusan hakim terdapat perbedaan terkait barang bukti.
“Iya, bahwa barang bukti pada amar putusan majelis hakim berbeda dengan amar tuntutan Jaksa Penuntut Umum,” katanya. Sebagai penyegar ingatan, bahwa pihak JPU dalam persidangan sebelumnya menuntut terdakwa Akhmad Syaifullah yang menjabat sebagai pihak penyedia barang dituntut dengan pidana penjara selama 4 tahun enam bulan dikurangi masa penahanan yang sudah dijalani selama proses persidangan.
Selain tetap ditahan, Direktur CV Kiaratama Persada ini tegas Nala juga harus membayar denda senilai 200 juta rupiah. “Apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.”
Dilanjutnya, Akhmad juga harus membayar uang pengganti dari praktik rasuah tersebut sebesar Rp. 200.077.272,5. Uang pengganti ini diharuskan dibayarkan dalam kurun waktu satu bulan setelah putusan inkrah (berkekuatan hukum tetap). “Apabila uang pengganti tak dibayarkan, maka ketentuannya diganti dengan pidana penjara selama enam bulan penjara,” tambahnya.
“Dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan pidana denda sebesar 200 juta rupiah dengan ketentuan apabila denda tidak
dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan,” sebut Nala.
Masih serupa dengan AS, bekas Sekwan ini juga dibebankan untuk membayar uang pengganti yang nominalnya sama, yakni Rp 200.077.272,5.
“Sama, paling lama harus dibayarkan dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Dengan ketentuan apabila uang pengganti tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara 6 bulan,” tegasnya.
Tuntutan tersebut klaim Nala bahwa atas pertimbangan bahwa perbuatan terdakwa sangat bertentangan dengan program pemerintah. Terlebih pemerintah ujarnya selalu menggaungkan pemberantasan tindak pidana korupsi. “Lalu, segala hal-hal yang meringankan keduanya, karena belum pernah dihukum dan bersikap sopan didepan persidangan, juga mempunyai tanggungan keluarga,” tuntasnya. (rvn)