ANGGOTA DPRD Kabupaten Tanah Bumbu, Fawahisah Mahabatan mencibir pembelaan diri Mardani Maming.
“Mudah sekali sebetulnya menilai kasus ini,” ujarnya kepada Radar Banjarmasin kemarin (17/8) malam.
Cukup lewat dua fakta, ia mengaku bisa menyimpulkan ketidakberesan Mardani saat menjabat kepala daerah. “Pertama, kekayaannya melonjak saat menjadi bupati dua periode,” bebernya.
Kedua, dan ini yang menurutnya paling penting, arah kebijakan yang menguntungkan bisnis keluarganya.
“Saat itu kewenangan perizinan tambang ada pada bupati. Perusahaan keluarganya justru tumbuh pesat saat dia menjabat. Jelas kan?” ujarnya.
Fawa memberikan contoh. Awalnya, kawasan pantai di PT ATU masuk cagar alam. Karena perairan di sana punya banyak terumbu karang.
Namun utak-atik kebijakan alihfungsi lahan, PT ATU pun berdiri. “Saya ingat, masyarakat nelayan sempat berdemo waktu itu,” ungkapnya.
Para nelayan yang kehilangan mata pencarian lalu diredam. Caranya, tiap rumah yang terdampak limbah batu bara dikasih uang. “Namanya fee debu,” jelas Fawa.
Dia lalu mencibir narasi kriminalisasi yang “dijual” politikus 40 tahun itu. “Kalau saya bilang, itu dosanya,” cecarnya.
Dia juga merasa masyarakat mudah sekali terkecoh. “Membanggakan pembangunan jalan aspal mulus, padahal dari dana APBN,” sentilnya.
Dalam renungannya, kasus sang bupati merupakan gambaran kualitas SDM di Tanah Bumbu. “Semua jadi transaksional. Pileg dan Pilkada jadi ajang adu kekuatan duit,” tegasnya.
Siapa yang disalahkan? Fawa menjawab semua pihak, dari atas sampai bawah.
“Ke depan, Tanah Bumbu harus memperkuat SDM-nya. Tidak bisa begini terus. Daerah kaya raya, tapi pembangunan belum maksimal.” (zal/gr/fud)