Surat tertanggal 20 Juli nomor 180/4177/SJ itu berisi perintah pencabutan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan di Mahkamah Konsititusi (MK).

“Sebelum membalas, sekarang kami masih mempelajari surat itu di bagian hukum pemko. Kami masih menimbang banyak aspek. Hasilnya akan disampaikan ke DPRD,” ujarnya (18/8) pagi di Balai Kota.

Ditanya soal isinya, Ibnu tegas. “Harus disampaikan bahwa kami tidak bisa langsung mencabut upaya judicial review itu. Karena harus ada persetujuan bersama DPRD,” tambahnya. 

“Apalagi, saat ini pengujian undang-undang juga sedang berproses di MK,” lanjut politikus Partai Demokrat itu. Pada 25 Agustus nanti, akan digelar sidang kelima dengan agenda pembuktian.

Ibnu juga hendak berkonsultasi dengan DPRD terkait langkah selanjutnya. Dan apakah perlu menggelar rapat paripurna lagi. “Tapi kalau mendengar sekilas jawaban DPRD, ya maju terus,” pungkasnya. 

Dalam surat tersebut, Tito meminta Ibnu untuk mencabut gugatannya di MK. Menyarankan agar masalah ini diselesaikan di internal pemda saja. Alasannya, sengketa akan mengurangi wibawa pemerintah di mata masyarakat. Jika berkeras, maka Ibnu dianggap kurang bijaksana.

Terpisah, Ketua DPRD Banjarmasin, Harry Wijaya juga mengaku tak sependapat dengan isi surat Mendagri.

Dia menekankan, langkah hukum diambil atas persetujuan bersama eksekutif dan legislatif. Maka, keputusan berikutnya juga mesti diputuskan lewat paripurna.

Kapan? Tergantung pada surat dari Ibnu. “Surat yang akan menjadi dasar bagi DPRD untuk menggelar rapat paripurna. Jadi kami menunggu saja,” jawab Harry.

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu kemudian menegaskan, pencabutan gugatan di MK masih sebatas wacana.

Intinya, kembali lagi pada pandangan delapan fraksi di dewan. “Jadi belum tentu paripurna nanti akan menyetujui pencabutan gugatan,” tekannya. 

Apalagi pada akhir Maret lalu, semua fraksi kompak mendukung pemko untuk mempertahankan kedudukan ibu kota provinsi di Banjarmasin.

“Kalau ingin dicabut ya disampaikan lagi melalui paripurna, dan bagaimana pandangan masing-masing fraksi nantinya,” pungkasnya.

Dalam UU Nomor 8 yang disahkan pada pertengahan Februari lalu oleh DPR RI tersebut, pasal 4 memuat tentang pemindahan ibu kota provinsi ke kota tetangga, Banjarbaru.

Persoalannya bukan hanya itu. Ada kecurigaan terkait praktik “penyelundupan” pasal. Sebab, pemindahan itu terjadi tiba-tiba dan kilat. Tanpa berkonsultasi ke daerah.

Sebenarnya, andaikan pemko mundur, sengketa di MK tetap berlanjut. Sebab pemohon judicial review juga datang dari luar. Yakni dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Forum Kota (Forkot) Banjarmasin.

Kuasa hukum mereka, Muhammad Pazri sudah menegaskan takkan mundur. (war/gr/fud)