Fungsi rumah singgah seyogianya menjadi tempat penanganan sementara. Namun di Banjarmasin, penghuninya dibiarkan menetap berlama-lama. Mayoritas penghuninya adalah orang dalam gangguan jiwa (ODGJ).

***

Siapapun yang melintasi ruas Jalan Gubernur Soebarjo, Kecamatan Banjarmasin Selatan tentu merasakan bagaimana gersangnya kawasan itu. Ruas jalanan yang penuh debu. Matahari yang kian terik membuat gerah hingga peluh mengucur. 

Di kejauhan, bersisian jalan utama, pintu gerbang bercorak hijau itu tampak mencolok. Di situlah, Rumah Singgah Baiman yang dikelola Dinas Sosial (Dinsos) Banjarmasin berada.

Tempat yang dibangun pada tahun 2010 lalu itu, berdasarkan catatan petugas di rumah singgah kini menampung sebanyak 55 orang perempuan maupun laki-laki. Seluruhnya, ditampung di lima bangunan asrama dengan total 16 bilik atau kamar. Tentu saja, ada asrama khusus perempuan dan asrama laki-laki.

Namun yang ditampung bukanlah gelandangan, pengemis, hingga lansia terlantar dengan kejiwaannya normal. Mereka yang ditampung justru didominasi ODGJ.

Ada yang diantar Satpol PP lantaran terjaring razia. Ada pula yang dijemput petugas rumah singgah itu sendiri dari jalanan. Meski masih diperbolehkan, tak pelak kondisi itu mengubah pandangan rumah singgah justru mirip Rumah Sakit Jiwa (RSJ) mini. Padahal bila mengacu regulasi yang ada tentang keberadaan rumah singgah, mereka sejatinya hanya ditampung sementara. Warga yang dikirim atau sudah ditampung di situ, kemudian mesti dikirim ke layanan kesehatan atau layanan sosial. Contoh, bagi penyandang disabilitas mental atau ODGJ, nantinya dikirim ke rumah sakit jiwa, atau ke rehabilitasi sosial hingga dinyatakan sembuh. Namun, ODGJ justru ditampung lama di Rumah Singgah Baiman.

Kemarin (3/8) siang, sejumlah petugas rumah singgah tampak sibuk. Ada yang memasak, membersihkan lantai, hingga duduk-duduk atau berbincang dengan sejumlah penghuni. Ya, penghuni memang bisa diajak berbincang-bincang. Apabila kondisi yang dibincangi tampak stabil. “Kalau lagi tidak normal, ya tidak bisa dibincangi,” ujar Hamsin, petugas di rumah singgah.

Hamsin yang bertugas sejak awal tahun 2012, tentu sangat hapal dengan nama, serta sikap para penghuni. Ketika ia menyapa, penghuni pun sigap memberikan jawaban.

Namun, tak sedikit pula penghuni rumah singgah yang menimpalinya dengan keluh kesah. Ada curhat tak keruan, atau tak jelas apa yang dicurhatkan. Ada pula penghuni yang justru minta dicarikan anak. Ke semuanya itu tentu dimaklumi Hamsin. Siang itu, mayoritas penghuni rumah singgah berada di asramanya masing-masing. Hanya ada tiga orang yang tampak hilir mudik di luar asrama, kemudian duduk-duduk di sebuah bangku panjang.

Ketiganya laki-laki. Sebut saja A, B dan C. Ketika dibincangi, A mengaku sudah berada di rumah singgah selama lebih dari tiga tahun. Sedangkan B dan C sudah berada selama lebih dari dua tahun. Ketiganya masih bisa dibincangi dengan normal. Maskipun, sesekali tampak termenung lama. Atau tersenyum sendiri.

Baik A, B dan C, sama-sama tidak tahu mengapa mereka bisa sampai diboyong ke rumah singgah. Namun ketiganya mengungkapkan pernyataan yang sama. Mereka ditampung di situ, lantaran pihak keluarga tak ingin lagi menerima keadaannya. Menggelandang di jalanan, hingga terjaring razia.

Berdasarkan penuturan Hamsin, ketika diantar ke rumah singgah, kejiwaan ketiganya memang sudah tampak terganggu. Seiring berjalannya waktu, kondisi kejiwaan mereka berangsur-angsur pulih.

Kendati masih bisa diajak berbincang, ketiganya juga masih perlu diawasi. “Sesekali penyakitnya bisa kumat. Mereka juga masih perlu mengonsumsi obat,” terangnya. 

Di rumah singgah, kegiatan yang dilakukan penghuninya hanyalah makan dan tidur. Kalau toh ada kegiatan, hanya di waktu-waktu tertentu. Itupun hanya sekali dalam dua pekan. Sekadar berolahraga. “Dari total 55 penghuni rumah singgah, paling hanya 20 orang yang bisa dikeluarkan dari asrama untuk mengikuti olahraga,” ujarnya. “Tergantung dari kondisi kejiwaan mereka. Kalau berpotensi mengamuk, ya terpaksa didiamkan di dalam asrama,” jelasnya.

Dari sebanyak 20 orang itupun, tidak semuanya mau berolahraga. Sebagian besar hanya duduk-duduk dan berbicara satu sama lain. “Tak jelas pula apa yang dibicarakan,” ungkapnya.

Selama di rumah singgah, para penghuninya tentu dilayani sedemikian rupa. Segala kebutuhan mereka difasilitasi. Contoh untuk konsumsi makan dan minum. Perihal kesehatan juga jadi perhatikan. Petugas pelayanan kesehatan datang satu kali dalam sepekan. Selain memeriksa kesehatan para penghuni, mereka juga kerap menitipkan obat-obatan sesuai dengan kondisi kesehatan penghuni rumah singgah.

Khusus untuk ODGJ yang kejiwaannya mulai stabil seperti A, B dan C, memiliki ruangan terpisah dari ODGJ lainnya. Itu dilakukan agar kejiwaan mereka tetap stabil. “Mereka juga kerap ditawarkan mau tidur di mana yang mereka mau di area rumah singgah. Senyaman mereka. Jadi, tidak digabung dengan penghuni lain,” jelas Hamsin.

Sesekali, untuk mengisi waktu luang, mereka juga dipekerjakan sebagai petugas pembantu. Tentu bukan pekerjaan berat. “Misalnya, mengisi air minum,” ujarnya. “Makanya mereka bisa bebas berkeliaran di kawasan ini. Dengan catatan, tidak keluar dari pintu gerbang,” tekannya. 

Apakah mereka mematuhi aturan itu? Sejauh ini, aturan itu masih dipatuhi. Namun tak satu atau dua kali, ada saja penghuni yang iseng keluar dari rumah singgah. “Ketika itu terjadi, ya harus kami cari. Kalau tidak dapat, apa boleh buat,” ucapnya.

“Biasanya, yang tidak dapat itu nantinya ditemukan oleh Satpol PP. Atau petugas kami yang melakukan patroli. Ada pula yang kembali sendiri,” jelasnya.

Hamsin membawa penulis menuju salah satu asrama perempuan. Posisinya bersisian dengan Kantor UPT Rumah Singgah Baiman. Ia tampak memanggil nama salah satu penghuni asrama. Dengan cekatan, seorang perempuan tampak menghampirinya.

Sebut saja D. Dari balik teralis jendela, perempuan itu tampak tersenyum kemudian tertawa. “Seperti beliau ini, pernah keluar dari sini. Tapi, kembali lagi,” ucapnya. Berdasarkan keterangan Hamsin, D sudah menetap di rumah singgah selama delapan tahun lamanya. Cukup lama ia berbincang dengan perempuan 40 tahun itu.

Apa isi perbincangannya? Hamsin bilang perempuan itu bercerita tentang alasan mengapa sampai berada di rumah singgah. “Katanya, dia ditinggal suami karena tidak bisa memasak,” ujarnya.

“Seperti inilah kondisi di sini. Terkadang, bila memang bisa dibincangi, ya nyambung saja. Kalau tidak, bisa-bisa kita disiram pakai air,” ujarnya. “Perlu ditekankan, pernyataan mereka bisa berubah-ubah. Hari ini jawabannya seperti ini, besok belum tentu,” jelasnya.

Selain Hamsin, ada sejumlah petugas lain di Rumah Singgah Baiman itu kemarin (3/8). Mereka adalah mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Banjarmasin (UMB) yang sedang melakukan penelitian. Khususnya terkait kejiwaan para penghuni rumah singgah. “Sekaligus membantu kami bekerja,” ujar Hamsin. Salah satunya, Nandika. Hingga kemarin (3/8), setidaknya sudah tiga pekan ia beserta sejumlah rekan sekampusnya berada di rumah singgah. Tentu tidak menginap. Mereka datang setiap pagi, dan pulang ketika sore hari.

Berdasarkan keterangan lelaki yang duduk di Fakultas Kesehatan Ilmu Keperawatan itu, mayoritas penghuni rumah singgah memang memiliki gangguan kejiwaan. “Dari hasil penelitian sementara ini, itu dilatarbelakangi sejumlah faktor. Ada lantaran faktor lingkungan, dan ekonomi,” tutupnya.(war/gr/dye)